Valentine: Dari Tradisi Menjadi Industri
DEBAR.COM.-DEPOK- Tulisan ini sama sekali tidak hendak mengusut sejarah perayaan Valentine, yang mana hal tersebut mudah didapatkan di berbagai sumber. Tulisan singkat ini lebih sebagai tawaran sudut pandang (worldview) kita terhadap satu tradisi dan apa yang ada di dalamnya, serta mendudukkannya dalam satu sudut pandang ke-Islam-an (Islamic worldview).
Puluhan mahasiwa dari Lembaga Dakwah Kampus (LDK) kota Bogor, diketahui mengadakan aksi turun ke jalan dalam rangka mensyi’arkan keharaman merayakan Valentine. Bahkan, banyak meme beredar yang kontenya berisi “terima jasa pelumatan coklat”.
Kalau Valentine disebut sebagai budaya yang bukan hanya non -Islami, tapi bertentangan dengan ajaran Islam, penulis setuju. Tapi, bagaimana dengan coklat? Apa salah coklat?. Bagaimana kita mendudukkan tiap unsurnya secara proposional?.
Penulis ingin katakan, bahwa umat beragama secara khusus, para ahli fatwanya (mufti), dan masyarakat secara umum telah sekian lama dikerjai oleh para pengusaha simbol Valentine. Para mufti dan cendikiawan berdebat terkait hukum, haram dan tidaknya merayakan Valentine, menyatakan bahwa Valentine adalah cara orientalis-missionaris merusak Islam. Padahal, kalau kita perhatikan lagi, dalam sebuah tradisi yang dipopulerkan selalu dibelakangnya ada unsur ekonomis. Ada produksi yang bisa dijual, dan untuk mendongkrak penjualan itu butuh moment. Inilah yang penulis sebut sebagai industrialisasi tradisi.
Hari valentine biasanya dirayakan dengan saling bertukaran tanda atau simbol dalam bentuk “Valentines”. Simbol modern Valentine antara lain termasuk sebuah kartu berbentuk hati dan gambar sebuah Cupido (Inggris: cupid) bersayap. Mulai dari abad ke-19, tradisi penulisan tanda pernyataan cinta mengawali produksi kartu ucapan secara massal. The Greeting Card Association (Asosiasi Kartu Ucapan AS) memperkirakan bahwa di seluruh dunia sekitar satu miliar kartu valentine dikirimkan per tahun (liputan6.com).
Di Amerika Serikat, mulai pada paruh kedua abad ke-20, tulis Wikipedia, tradisi bertukaran kartu diperluas dan termasuk pula pemberian segala macam hadiah yang biasanya diberikan oleh pria kepada wanita. Hadiah-hadiahnya biasa berupa bunga mawar dan coklat. Mulai tahun 1980-an, industri berlian mulai mempromosikan hari Valentine sebagai sebuah kesempatan untuk memberikan perhiasan.
Menjelang Valentine penjualan cokelat mampu meningkat lebih dari 650 persen dan penjualan bunga tercatat meningkat lebih dari 250 persen, Ungkap salah seorang marketing Tokopedia tahun lalu. Maka, budaya ini bertahan bukan semata-mata faktor ideologis-teologis, tapi bisnis.
Dari fakta-fakta di atas, dapat kita simpulkan bahwa yang merayakan Valentine, bukan hanya terjebak dalam sebuah budaya, tetapi telah ditipu mentah-mentah oleh pedagang. Pedagang berlian dan coklat membuat sebuah ilusi, bahwa Valentine tanpa keduanya tidak special.
Kelemahan bangsa kita sesungguhnya adalah budaya konsumtivisme. Mudah dipermainkan pasar. Lihatlah bagaimana produk sosial media, kendaraan bermotor, tumbuh subur di Indonesia. Maka tak heran, industri tradisi pun dengan mudah laku di pasar masyarakat Indonesia. Jadi, sekali lagi, ini bukan lagi ranah teologis-ideologis, tapi sudah Psikologis, penyakit konsumtif.
Tapi, bukan berarti karena Valentine identik dengan coklat, lalu coklat menjadi haram, seperti jasa pelumatan coklat di meme. Jika seperti itu, ketika coklat berganti lontong untuk merayakan Valentine apakah lontong menjadi lambang maksiat?. Tentu tidak. Itu seperti kita mengatakan celurit lambang maksiat, karena menjadi simbol komunis, lalu tukan arit rumput harus menggunakan apa?.
Kesimpulannya, terlepas dari pro kontra Valentine, rasanya sangat tidak produktif bagi yang mengaku muslim menjadi partisipan Valentine. Terlalu banyak budaya Islami yang bisa dihidupkan, mulai dari muharram, maulid, isra mi’raj, bahkan budaya cium tangan orang tua tiap kali bertemu. Satu budaya yang sudah jelas-jelas mengarah pada kemaksiatan, pelegalan zina, tidak pantas diadopsi di negara mayoritas muslim seperti Indonesia. Tapi, lagi-lagi, jangan lantas mendiskriminasi coklat yah.(RED/Debar)