SYIAR DEBAR ‘Solusi Islami Cegah Tawuran’ Oleh: Ustad Dr.Mukhrij Sidqy, MA

DEBAR.COM.-DEPOK- Tawuran telah menjadi salah satu ikon Sekolah Menengah Atas di Indonesia dan setingkatnya. Tahun 2018 saja tercatat 14 % angka tawuran pelajar, naik 1,1 % dari tahun sebelumnya (12,9 %). Tak terhitung berapa jiwa yang melayang akibat tindakan konyol tersebut. Sayangnya, tindakan yang kriminal dan bar-bar tersebut nampaknya tak pernah dianggap sebagai masalah serius bagi beberapa pihak yang sejatinya paling berperan dan bertanggung jawab untuk mencegahnya.

Dalam perspektif pendidikan Islam bagi remaja, sejatinya tawuran sangat mungkin dicegah bahkan dihilangkan. Mengapa dikatakan begitu? Mudah saja, karena lembaga pendidikan Islam berbasis Pondok (Islamic Boarding School)  nyaris tak pernah diberitakan tawuran. Hal tersebut bukan karena remaja pesantren dan sekolah umum lainnya berbeda, melainkan karena sistem pendidikan, knowledges, dan doktrin yang ditanamkan kepada peserta didiknya. Lalu bagaimana langkah pencegahannya?

Pertama : Hadirkan kurikulum berbasis akhlak yang proporsional. Mulai dari cara berpakaian, berbicara, akhlak kepada yang muda maupun yang tua, akhlak dalam belajar dan sebagainya. Memang terkesan kuno, tapi kurikulum ini jelas menjadi faktor keberhasilan pesantren dalam membentuk moral santri-santrinya. Jika kurikulum ini dianggap tidak relevan, pertanyaannya, seberapa efektifkah kurikulum konvensional dalam mencegaj tawuran? “Innamâ bu’itstu liutammima makârimal akhlâq”.

Kedua : Hadirkan punish (ta’dzir/sanksi) yang tegas. Jangan segan-segan untuk men-Drop Out apabila pelajar terlibat tawuran, tidak perduli apakah sedang atau menjelang ujian nasional. Sering kali, alasan yang digunakan adalah pelajar tersebut sudah tercatat sebagai peserta UN, sehingga apabila dikeluarkan akan ber-efek pada nama baik sekolah, dan ia harus mengulang. Lalu apa masalahnya? Itu adalah konsekuensi jelas bagi pelanggar, dan punish itu ada untuk membuat jera “la’allakum tattaqûn”, sebagaimana qishash.

Ketiga : Political Will, bahwa tidak ada istilah perlindungan anak, apabila anak tersebut sudah mukallaf, baligh, ‘aqil dan berencana melakukan pembunuhan. Dalam perspektif Islam, pelajar setingkat SMA tidak lagi dikategorikan di bawah umur, sebab ia sudah boleh menikah. Yang jadi penghambat selama ini untuk menghadirkan sistem yang membuat jera pelaku tawuran adalah UU perlindungan anak, karena ada perbedaan antara dewasa dan di bawah umur antara fiqh dan kebijakan pemerintah. Tentu tidak adil jika nyawa ditukar dengan beberapa waktu di penjara , disinilah peran negara dalam konteks “‘adlil umarâ”. (MS/Debar)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button