Opini: Mengembalikan Jiwa Kemerdekaan Pers Oleh: Alfa Dera (Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Jayabaya)
DEBAR.COM.-DEPOK- Di bulan agustus ini kita merayakan hari kemerdekaan negara kita, semarak kemerdekaan dapat kita lihat dan baca dari tulisan karya jurnalistik yang mengulas terkait dengan kemerdekaan, namun ada sedikit menggelitik ketika saya ajukan pertanyaan kepada beberapa rekan wartawan terkait jiwa dan tujuan pers tersebut, apakah kemerdekaan atau kebebasan pers? dari pertanyaan itu, saya mendapatkan kebimbangan wartawan ketika menjawab antara kemerdekaan atau kebebasan yang menjadi tujuan undang-undang pers saat ini.
Apakah benar tujuan akhir dari Undang-undang pers yang berlaku saat ini hanya bermuara pada kebebasan semata, sehingga bebas untuk membuat perusahaan pers, dikutip dari tulisan Yosep Adi Prasetyo yang pernah menjabat sebagai ketua dewan pers, ia menyampaikan bahwa ada orang-orang yang sama sekali tak punya pengalaman di bidang jurnalistik dan berani mendirikan perusahan pers dengan modal minim tanpa legalitas hukum dan tidak memenuhi standar perusahaan pers sehingga terbitlah media abal-abal, karena dengan asal-asalan dan tanpa modal yang memadai, karena itulah pemiliknya juga mempekerjakan orang secara sembarangan untuk jadi wartawan dadakan, tanpa pernah memberikan pelatihan dan pembekalan keterampilan jurnalistik, pemilik media memberikan “kartu pers” yang dibuatnya sendiri. Bahkan kerap tanpa memberi gaji dan malah mewajibkan sang “wartawan” untuk memberikan setoran bulanan kepada pemilik media.
Kebebasan atau kemerdekaan yang merupakan filosofi dari undang-undang Pers
Pada masa orde baru bagi yang ingin mendirikan usaha penerbitan pers maka harus memiliki Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dan sejumlah persyaratan lainnya, namun tidak semua orang setelah mampu memenuhi persyaratan dapat langsung mendirikan dengan mudah perusahaan Pers karena saat itu pemerintah juga membatasi jumlah izin penerbitan Pers. Seiring dengan Reformasi akhirnya Undang-Undang yang mengatur Pers diganti karena sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman, maka lahirlah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers yang menjadi landasan hukum terkait Pers yang masih berlaku sampai saat ini.
Undang -undang tersebut terdiri dari 21 pasal yang disahkan di Jakarta pada tanggal 23 September 1999 oleh Presiden Republik Indonesia Bacharuddin Jusuf Habibie, selanjutnya diundangkan dalam lembaran negara oleh Menteri Sekretaris Negara Republik Indonesia Muladi pada tanggal yang sama yakni 23 September 1999.
Dalam tulisan ini, kita tidak untuk membedah detail bunyi 21 pasal yang ada di dalam undang undang tersebut karena kita akan berpikir terkait jiwa dari Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers sehingga kita dapat menyimpulkan dan menjawab pertanyaan terkait kondisi pers saat ini benarkah Pers tersesat di Jalan Kebebasan? Jawaban atas Pertanyaan tersebut mungkin dapat kita jawab bersama, apabila kita berpikir untuk mencari hakikat dibentuknya undang-undang Pers tersebut.
Catatan Dinamika Rancangan Undang Undang Pers
Setelah ditelusuri, tidak ditemukan adanya perdebatan mengenai apakah pengusung naskah konsep awal rancangan Undang-undang Pers wajib dari pemerintah atau dari pihak legislatif. Dengan adanya usul konsep dari Pemerintah pada saat itu, pihak Legislatif menanggapi naskah yang dirancang tersebut dengan berkomitmen bersama masyarakat pers agar tidak mempersoalkan darimana rancangan tersebut berasal, yang penting adalah hasil akhir berupa undang-undang yang harus mencerminkan aspirasi masyarakat termasuk di dalamnya adalah masyarakat pers.
Berdasarkan penelusuran catatan notulen rapat kerja Ny. Hj. Aisyah Aminy.,S.H yang pada saat itu menjabat sebagai anggota DPR RI/MPR RI sejak tahun 1977-2004. Beliau ditunjuk selaku Ketua dalam kegiatan pembahasan konsep rancangan Undang-undang Pers, Naskah awalnya terdiri dari 29 pasal, yang mana di dalam pasal tersebut terdapat 32 kata kemerdekaan dan 10 kata kebebasan, selanjutnya di Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers yang kita gunakan saat ini terdapat 17 kata kemerdekaan dan 2 kata kebebasan.
Sebelum masuk kita mencari jiwa Undang-undang pers, maka kita lihat terlebih dahulu perbedaan pandangan di dalam proses perumusan Undang-undang Pers antara lain ada beberapa fraksi yang menyampaikan keberatan dengan pengertian Perusahaan Pers, yang mana awal konsep naskah Perusahaan Pers diartikan perusahaan berbadan hukum yang diakui oleh perundang-undangan Republik Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers, lalu pihak legislatif memberikan masukan agar pengertian Perusahaan pers harus mampu mengakomodir Media elektronik termasuk media internet, karena karena pada saat itu paradigma pemikiran Perusahaan pers masih dianggap hanya sebatas Media cetak dan pada tahun 1999, hal tersebut sudah diprediksi kedepannya akan muncul banyak kegiatan Jurnalistik pers yang bermuara akhir tidak hanya berupa media cetak.
Pihak Legislatif mengutip referensi Pemikiran dari Profesor Umar Oemar Seno Adji yang pernah menjabat Jaksa Agung Muda (1950-1959) yang juga menjabat sebagai Dosen atau guru besar pakar hukum Universitas Indonesia, beliau memperkenalkan terminologi pers yang berpendapat apabila Perusahan pers hanya ditafsirkan media cetak maka resikonya akan terjadi kekosongan hukum karena pemerintah tidak mengatur mengenai pers atau kewartawanan di bidang elektronik, setelah proses Perdebatan dan saling memberikan masukan, kesepakatan konsep terakhir pengertian Perusahaan Pers adalah Badan Hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.
Kembali ke Jiwa dibentuknya Undang-undang Pers
Para anggota legislatif yang tergabung dalam tim pembahasan Undang-undang Pers menyampaikan bahwa Pers nasional atau Pers Indonesia sebelum 1945 itu benar- benar menghadapi keterjajahan dan realitanya di dalam perjalanan berikutnya pers setelah masa penjajahan kenyataannya tidak merdeka, karena dijajah oleh negeri sendiri oleh penguasa sendiri khususnya selama orde baru. Oleh karena itu, perubahan kata kemerdekaan didalam Undang-undang pers itu menjadi sangat penting dan prinsipil, bukan sekadar merubah kata kebebasan menjadi kemerdekaan.
Didalam dokumen Naskah Pembahasan Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers didapatkan catatan dari pendapat politisi yang sebelumnya berprofesi dan berlatar belakang Pendidikan lulusan Ilmu Jurnalistik di Sekolah Tinggi Publisistik (STP) yang saat ini berganti nama menjadi Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Sosok tersebut banyak memberikan pendapat di dalam proses pembahasan Undang-undang Pers, ia menyampaikan bahwa tujuan akhir atau jiwa Undang undang pers terkait pola pikir yang bermuara akhir pada Kebebasan sudah mulai harus ditinggalkan, tujuan Pembentukan Pers nasional bukan saja bebas dari larangan terbit oleh pemerintah tetapi perlu dikembangkan paradigma baru dalam kehidupan pers nasional yaitu kemerdekaan pers yang profesional.
Mengapa undang-undang pers yang dibentuk harus kearah paradigma kemerdekaan pers yang profesional, karena Pers diharapkan tidak bermuara akhir pada kebebasan dari pelarangan penerbitan saja, ia berpendapat ke depannya pers akan berubah menjadi industri pers sehingga Pers harus dikelola secara profesional, yang mana profesionalisme harus dicerminkan juga dalam pelaksanaan fungsi peranan kewajiban pers itu sendiri antara lain terhadap kode etik profesi.
Selain itu, Undang-undang pers juga dirancang bukan semata bermuara akhir kebebasan tetapi Undang-undang Pers diharapkan melindungi kepentingan masyarakat pembaca konsumen pers serta komitmen terhadap tanggung jawab profesi secara profesional maka rancangan Undang-undang Pers menegaskan bahwa penerbitan pers bukan saja berkewajiban memenuhi hak jawab dan hak koreksi tetapi juga berkewajiban memberitakan suatu peristiwa. atau pendapat secara akurat termasuk didalamnya menjunjung tinggi etika profesi, serta mencermati norma-norma agama dan norma kesusilaan yang diyakini oleh masyarakat kita.
Rancangan Undang undang pers juga dirancang bukan sebatas kebebasan dari pelarangan penerbitan tetapi undang undang pers dirancang untuk mewujudkan Kemerdekaan pers yang profesional karena kemerdekaan Pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis yang mana kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat dijamin dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, dan apabila kemerdekaan pers yang profesional maka akan bermuara pada keadaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki sehingga kemerdekaan pers diharapkan bermuara akhir sarana menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejateraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sudahkan pers saat ini sampai kepada menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejateraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa
Ternyata jiwa undang undang pers sangat mendalam bukan sebatas berakhir dikemerdekaan pers, tetapi Pers yang merdeka diharapkan bermuara kepada pers yang berperan menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejateraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tertuang didalam filosofi Undang Undang Pers, jangan sampai tumbuh subur pemikiran terkait kebebasan pers yang tak berberbasis jurnalistik sehingga dampaknya bersiap-siaplah kita untuk terbiasa dengan kehidupan yang diwarnai dengan informasi sesat, hoax, dan disinformasi. Karena, media yang tidak berbasis jurnalistik inilah yang justru akan merongrong kemerdekaan pers serta membahayakan kehidupan demokrasi dan hilangnya jiwa Kemerdekaan pers yang sesungguhnya yakni menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejateraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. (ALFA DERA/Debar)