Implementasi Pendayagunaan Zakat Oleh LAZ Berdasarkan UU 23 Tahun 2011
DEBAR.COM.-BOJONGSARI, DEPOK- Konsep zakat sebagai salah satu solusi mengentas kemiskinan bukanlah suatu konsep yang mustahil. Karena zakat telah dijadikan Allah sebagai sumber jaminan hak-hak jaminan orang miskin/fakir, maka tidak ada keraguan bahwa zakat adalah salah satu solusi untuk mengentas kemiskinan. Hal ini dapat dilakukan jika pengelolaan zakat tersebut professional dan sesuai dengan aturan syari’at.
Namun bukan perkara mudah untuk mewujudkan hal tersebut di Indonesia selain karena masyarakat mayoritas muslim juga karena kesadaran masyarakat untuk membayar zakat yang masih rendah, terutama pada zakat mal (harta). Maka diperlukan kehadiran umara (pemerintah) sebagai regilator utama yang mengatur mekanisme zakat di Indonesia.
“Pengelolaan Zakat yang diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelelolaan Zakat. Dalam Undang undang No. 23 Tahun 2011 menyatakan bahwa Pengelolaan Zakat adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengoordinasian dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan Zakat”.
Karena kurangnya pengetahuan agama masyarakat dalam membayar zakat, dan cara mengeluarkan zakat, maka sedekah di anggap bersedekah oleh mereka. Untuk itu perlu pengetahuan tentang zakat dan pendidikan juga termasuk pengaruh masyarakat dalam membayar zakat. Padahal dalam Islam zakat sudah di jelaskan dalam Al-Qur’an di sebut sebanyak 32 kali dan kewajiban shalat diiringi dengan menunaikan zakat.
Namun dalam memberikan hartanya mereka hanya percaya dan mengetahui diberikan kepada anak yatim piatu, dan janda tua yang sudah tidak mampu. Padahal dalam Islam dan menurut tuntunan Syariah zakat di berikan kepada 8 (delapan) asnaf atau orang yang berhak menerima zakat mustahik. Pada dasarnya terkait pentasyarufan atau pendayagunaan zakat dilakukan langsung oleh pihak muzaki kepada mustahiq secara langsung. Namun, agar pentasyarufan atau pendayagunaan lebih maksimal, dapat diwakilkan melalui amil zakat atau lembaga pengelola zakat. Terkait pentasyarufan atau pendayagunaan zakat pada dasarnya sudah diatur siapa saja yang berhak menerimanya, yaitu faqir, miskin, amil, mualaf, riqab, gharim, fisabilillah dan ibnu sabil.
Karena kurangnya pemahaman zakat, akan pentingnya zakat, cara mengeluarkan zakat, orang yang berhak menerima zakat, dan kurangnya kepercayaan kepada Badan Amil Zakat Nasional atau lembaga zakat membuat mereka lebih percaya untuk memberikan zakat itu sendiri.
Dengan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan zakat tersebut selangkah lebih maju Bangsa Indonesia untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam penuaian dan pelayanan ibadah zakat khususnya bagi umat Islam, karena zakat sebagai rukun Islam merupakan kewajiban setiap muslim yang mampu untuk membayarnya dan diperuntukkan bagi mereka yang berhak menerimanya. Dengan pengelolaan yang baik (profesional, amanah, transparan dan bertanggung jawab) maka zakat merupakan sumber dana potensial yang dapat dimanfaatkan untuk memajukan bagi kesejahteraan masyarakat terutama pengentasan kemiskinan dan pemberantasan kesenjangan sosial.
Menurut pasal 2 Undang-undang No 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat berasaskan, Syariat Islam, amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegrasi dan akuntabilitas, sesuai dengan Pancasila dan undang-undang dasar 1945. Pasal 3 menyebutkan pengelolaan bertujuan:
a. Meningkatkan efektifitas dan efesiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat.
b. Meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulan kemiskinan.
Pemberdayaan ini dimaksudkan untuk berkuasa atau mampu atas dirinya sendiri untuk memenuhi kebutuhannya. Pemberdayaan masyarakat adalah proses pembangunan di mana masyarakat berinisiatif untuk memulai proses kegiatan sosial untuk memperbaiki situasi dan kondisi diri sendiri (Wikipedia.com).
Kegiatan pemberdayaan terdiri dari dua aktivitas yaitu pengumpulan dan pendistribusian zakat. Kegiatan pendistribusian zakat, infaq, dan sedekah dikaitkan dengan atau dijabarkan ke dalam bentuk-bentuk program pemberdayaan ekonomi para mustahiq.
Bentuk-bentuk program pemberdayaan tersebut diwujudkan dalam berbagai bentuk pendistribusian zakat. Dalam hal ini, pendistribusian zakat dapat berbentuk zakat konsumtif (sembako) atau dirupakan dalam bentuk uang tunai. Zakat juga dapat didistribusikan dalam bentuk beasiswa pendidikan, pelatihan dan pembinaan, program adik asuh, sarana dan prasarana, dan modal usaha produktif.
Zakat yang diberikan kepada mustahiq akan berperan sebagai pendukung peningkatan ekonomi mereka apabila dikonsumsikan pada kegiatan produktif. Pendayagunaan zakat produktif sesungguhnya mempunyai konsep perencanaan dan pelaksanaan yang cermat seperti mengkaji penyebab kemiskinan, ketidakadaan modal kerja, dan kekurangan lapangan kerja, dengan adanya masalah tersebut maka perlu adanya perencanaan yang dapat mengembangkan zakat bersifat produktif tersebut.
Pengembangan zakat bersifat produktif dengan cara menjadikan dana zakat sebagai modal usaha, untuk pemberdayaan ekonomi penerimanya, dan supaya fakir miskin dapat menjalankan atau membiayai kehidupannya secara konsisten. Dengan dana zakat tersebut fakir miskin akan mendapatkan penghasilan tetap, meningkatkan usaha, mengembangkan usaha serta mereka dapat menyisihkan penghasilannya untuk menabung.
Dana zakat untuk kegiatan produktif akan lebih optimal bila dilaksanakan Lembaga Amil Zakat karena LAZ sebagai organisasi yang terpercaya untuk pengalokasian, pendayagunaan, dan pendistribusian dana zakat, mereka tidak memberikan zakat begitu saja melainkan mereka mendampingi, memberikan pengarahan serta pelatihan agar dana zakat tersebut benar-benar dijadikan modal kerja sehingga penerima zakat tersebut memperoleh pendapatan yang layak dan mandiri.
Dengan berkembangnya usaha kecil menengah dengan modal berasal dari zakat akan menyerap tenaga kerja. Hal ini berarti angka pengangguran bisa dikurangi, berkurangnya angka pengangguran akan berdampak pada meningkatnya daya beli masyarakat terhadap suatu produk barang ataupun jasa, meningkatnya daya beli masyarakat akan diikuti oleh pertumbuhan produksi, pertumbuhan sektor produksi inilah yang akan menjadi salah satu indikator adanya pertumbuhan ekonomi. Dengan gambaran tersebut, maka peranan zakat sangat signifikan dalam kehidupan manusia. Dimana zakat merupakan suatu penggerak atau motor yang berpotensi memberikan tunjangan kepada para pedagangataupun profesi lain yang membutuhkan modal, yang tidak bisa didapatkan dari jalan lain (Narullah, 2015: 11-12).
Salah satu bentuk usaha mengatasi kemiskinan melalui pendistribusian zakat produktif yang merupakan program pemberdayaan ekonomi. Penyaluran ini berbentuk bantuan modal (berbentuk uang tunai atau barang) untuk berdagang dan peralatan untuk usaha dalam mencari nafkah hidup.
Pendistribusian zakat produktif ini diberikan kepada aktifitas yang dapat menghasilkan manfaat dalam jangka panjang dan melepaskan ketergantungan ekonomi masyarakat miskin dari bantuan pihak lain. Penerima zakat produktif ini harus memenuhi tiga syarat; pertama, sudah mempunyai usaha produktif yang layak. Kedua, bersedia menerima tugas pendamping yang berfungsi sebagai pembimbing dan ketiga, bersedia menyampaikan laporan usaha secara berkala setiap enam bulan (Yusuf, 2017).
Pendistribusian zakat produktif diberikan kepada 8 golongan, diantaranya fakir, miskin, amil, riqab, muallaf, gharimin, fisabilillah, dan ibnu sabil. Pendistribusian zakat produktif di LAZISNU Kudus ditekankan kepada janda miskin. Dimana status sebagai janda miskin adalah termasuk salah satu dalam 8 asnaf, yaitu miskin.
Ketua Yayasan Al Kamilah, Ahmad Badruddin saat disambangi awak media DepokPembaharuan (Debar) di Yayasannya, Senin (11/07/2022) mengungkapkan, berdirinya LKS Al-Kamilah berawal dari menyaksikan langsung betapa banyak anak-anak yatim dan dhuafa dalam kondisi yang sangat memprihatinkan karena keterbatasan ekonomi dan sebagian besar mereka banyak yang tidak sekolah atau putus sekolah.
“Dari realita itulah akhirnya kami terpanggil dan berkeinginan kuat untuk mendirikan sebuah lembaga kesejahteraan sosial dengan harapan dapat mengasuh dan membina mereka dengan penuh kasih sayang seperti anak-anak kita sendiri,” kata Badruddin.
<span;>ZAKAT
Menurut syariat, ada dua makna yang terkadung dalam zakat, Pertama, sebab dikeluarkannya zakat itu karena adanya proses tumbuh kembang pada harta itu sendiri atau tumbuh kembang pada aspek pahala yang menjadi semakin banyak dan subur disebabkan mengeluarkan zakat. Atau keterkaitan adanya zakat itu semata-mata karena memiliki sifat tumbuh kembang seperti zakat tijarah dan Zira’ah. Kedua, pensucian karena zakat adalah pensucian atas kerusakan, kebakhilan jiwa, dan kotoran-kotoran lainnya, sekaligus pensucian jiwa manusia dari dosa-dosanya.
Zakat produktif merupakan model pendistribusian zakat yang dapat membuat para mustahiq menghasilkan sesuatu secara terus menerus, dengan harta zakat yang telah diterima. Zakat produktif adalah harta zakat yang diberikan kepada mustahiq tidak dihabiskan atau dikonsumsi tetapi dikembangkan dan digunakan untuk membantu usaha mereka, sehingga dengan usaha tersebut mustahiq dapat memenuhi kebutuhan hidup secara terus menerus (Toriquddin, 2015).
Untuk mencapai produktif, maka perlu adanya pengelolaan. Pengelolaan berasal dari kata mengelola yang berarti mengendalikan atau menyelenggarakan. Sedangkan tren pengelolaan berarti proses melalukam kegiatan tertentu dengan menggerakkan tenaga orang lain, atau dapat juga diartikan proses pemberian pengawasan pada semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan kebijaksanaan dan pencapaian tujuan. Jadi, pengelolaan menyangkut proses suatu aktifitas. Dalam kaitannya dengan zakat, proses tersebut meliputi sosialisasi zakat produktif, pengumpulan zakat, pendistribusian dan pendayagunaan serta pengawasan. Dengan demikian pengelolaan zakat produktif adalah proses dan pengorganisasian sosialisasi, pengumpulan, pendistribusian, dan pengawasan dalam pelaksanaan zakat (Hasan, 2013: 17).
Pengelolaan zakat memiliki ciri sendiri-sendiri dari masa ke masa. Pada zaman Rasulullah SAW, zakat dikumpulkan oleh Baitul Mal kemudian ditasyarufkan ke para asnaf zakat. Namun tidak jarang ada yang langsung dari muzakki ke mustahiq. Berlanjut ke zaman Khulafaurasidin, zakat tetap diberlakukan. Pada masa ini ada pengurangan dan penambahan terkait konteks pengelolaan zakat. Pada masa Umar dihapuskan zakat bagi mualaf, namun di zaman utsman diberlakukan zakat barang tampak dan barang tidak tampak. Contoh dari barang tampak adalah hewan ternak dan hasil bumi, sementara contoh barang tidak tampak adalah uang dan barang tambang.
Pengelolaan zakat mulai mengalami perkembangan terjadi pada masa at-Tabi’in-at Tabi’in. Pada masa ini tepatnya saat Umar bin Abdul Aziz menjadi penguasa, ditetapkan bahwa kewajiban zakat meliputi harta kekayaan yang diperoleh dari profesi pekerjaan seseorang. Semenjak masa itu pengelolaan zakat terus mengalami perkembangan. Namun menurut beberapa pakar, zakat belum bisa mengentaskan kemiskinan secara optimal. produktif adalah zakat yang tidak sekali digunakan habis, namun zakat yang bisa dibuat untuk usaha sehingga dengan itu diharapakan mustahiq berubah menjadi muzakki.
Adapun dasar tersebut yaitu :
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.” QS At-Taubah: 60.
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat:
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat mencabut Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Pertimbangan dalam UU 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat adalah:
1. Bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu;
2. Bahwa menunaikan zakat merupakan kewajiban bagi umat Islam yang mampu sesuai dengan syariat Islam;
3. Bahwa zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat;
4. Bahwa dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna, zakat harus dikelola secara melembaga sesuai dengan syariat Islam;
5. Bahwa Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu diganti;
6. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat;
PENJELASAN UMUM UU PENGELOLAAN ZAKAT:
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Penunaian zakat merupakan kewajiban bagi umat Islam yang mampu sesuai dengan syariat Islam. Zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan, kesejahteraan masyarakat, dan penanggulangan kemiskinan.
Dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasi guna, zakat harus dikelola secara melembaga sesuai dengan syariat Islam, amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegrasi, dan akuntabilitas sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat.
Selama ini pengelolaan zakat berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu diganti. Pengelolaan zakat yang diatur dalam Undang-Undang ini meliputi kegiatan perencanaan, pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan. Dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat mencabut Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Dalam upaya mencapai tujuan pengelolaan zakat, dibentuk Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang berkedudukan di ibu kota negara, BAZNAS provinsi, dan BAZNAS kabupaten/kota. BAZNAS merupakan lembaga pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri. BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional.
Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ). Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri. LAZ wajib melaporkan secara berkala kepada BAZNAS atas pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit syariat dan keuangan.
Zakat wajib didistribusikan kepada mustahik sesuai dengan syariat Islam. Pendistribusian dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan, dan kewilayahan. Zakat dapat didayagunakan untuk usaha produktif dalam rangka penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat apabila kebutuhan dasar mustahik telah terpenuhi.
Selain menerima zakat, BAZNAS atau LAZ juga dapat menerima infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya. Pendistribusian dan pendayagunaan infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya dilakukan sesuai dengan syariat Islam dan dilakukan sesuai dengan peruntukan yang diikrarkan oleh pemberi dan harus dilakukan pencatatan dalam pembukuan tersendiri.
Untuk melaksanakan tugasnya, BAZNAS dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Hak Amil. Sedangkan BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Hak Amil, serta juga dapat dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Implementasi Pengelolahan Zakat
Pendistribusian zakat produktif yang dilaksanakan BAZNAS Kota Bogor dalam bentuk modal usaha. Zakat produktif tersebut disalurrkan untuk mustahik perseorangan dan kelompok. Program Bogor Berkah termasuk dalam zakat produktif berbasis keompok, kelompok yang dimaksud adalah kelompok majlis taklim. Penerima diwajibkan berinfaq setiap harinya dari hasil usaha yang dijalani. Batasan nominal zakat bantuan yang diberikan maksimal sebesar Rp.2.000.000. selain modal berbentuk uang BAZNAS Kota Bogor juga melakukan pelatihan dan pengembangan berkerjasama dengan BLK (Badan Lapangan Kerja) dan Dinas Koperasi.
Kendala yang dihadapi BAZNAS Kota Bogor di masa pandemi Covid-19 adalah terbatasnya ruang gerak BAZNAS Kota Bogor untuk melakukan monitoring secara langsung penerima bantuan program zakat produktif. Upaya pengembangan juga sulit dilakukan. Kendala juga dialami pada saat awal pandemi yaitu menurunnya jumlah orang yang berzakat di BAZNAS Kota Bogor. (AR/Debar)