SYIAR DEBAR ‘Jalan Menjadi Wali’ Oleh: Ustad Dr.Mukhrij Sidqy, MA

DEBAR.COM.-DEPOK- Tidak perlu tabu dengan keinginan atau harapan menjadi waliyullah (teman dekat atau kekasih Allah SWT), menjadi waliyullah bahkan menjadi keharusan dan tujuan tertinggi. Yang sangat keliru adalah ingin menjadi wali agar memiliki karomah atau perbuatan yang ajaib (khoriqul ‘âdah), kemudian disebut sakti mandraguna, ajaib, dan sebagainya. Mengapa terjadi misorientasi tersebut? Tidak lain karena kesalahan penjabaran dan interpretasi tentang waliyullah.

Ciri-ciri waliyullah bukanlah dari jubahnya, gamisnya, sorbannya, tasbihnya, imamahnya, apalagi cincinnya. Tapi ciri utamanya adalah lâ khaufun ‘alaihim wa lâ hum yahzanûn. Khauf (Takut) disebut dengan kata benda, sedang yahzan (bersedih) disebut dengan kata kerja. Sederhananya, tidak ada yang perlu ditakutkan dan dikahwatirkan dari keadaan mereka di akhirat kelak, dan mereka tidak bersedih jika ada dunia yang hilang atau pergi dari mereka.

Rasulullah SAW menjelaskan bahwa orang akan dicintai Allah sehingga menjadi walinya apabila menunaikan apa yang diwajibkan kepadanya kemudian mendekatkan diri dengan amalan lain diluar kewajiban (nafilah), inilah yang disebut hadiah untuk Tuhan. Kewajiban itu luas aspeknya, bukan hanya sholat, puasa dan haji, tetapi juga termasuk berlaku jujur, memaafkan, adil dan perbuatan terpuji lainnya. Dan amalan nawafil (Bentuk plural dari nafilah) lebih luas lagi, bisa dalam bidang teknologi seperti menciptakan aplikasi seperti zoom untuk menfasilitasi silaturahim saat tatap muka tidak memungkinkan.

Menjadi wali tidak harus sering pergi ke kuburan, bahkan tak jarang perbuatan tersebut disalahpahami sebagian orang. Tetapi wali Allah disesuaikan dengan kebutuhan zaman, sebagaimana Nabi Musa dengan tongkatnya di zaman penyihir, Nabi Isa  dengan kemampuan dialognya di zaman yang intelek, Rasulullah SAW di zaman dengan Al-Qurannya di puncak peradaban sastra. Jadi, bukan zamannya wali terbang dilangit, karena karomah itu sudah diwakilkan oleh maskapai.

Kini saatnya diskursus kewalian dibangkitkan kembali dalam konteks visi dan misi untuk menjadi kekasih Allah, hamba yang memiliki kedekatan hubungan dengan Allah apapaun profesinya, dimanapun aktifitasnya. Baik di kantor sebagai profesional, di Lapangan seperti pekerja kasar (Petani, kuli), di pasar sebagai pedagang, dan selainnya. Karena jalan menuju Allah itu sejumlah jiwa yang diciptakan-Nya (At-thurûq ilallâh bi ‘adadil anfâs). (MUKHRIJ/Debar)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button