SYIAR DEBAR: ‘Belajar Dari Pemilu Thaluth’ Oleh: Ustad Dr.Mukhrij Sidqy, MA
DEBAR.COM.-DEPOK- Dalam kondisi sosial politik yang kurang stabil, Bani Israil menuntut kepada Nabi mereka yaitu Nabi Samuel AS untuk mengangkat seorang pemimpin yang dapat memimpin mereka, karena kelak mereka akan berhadapan dengan pasukan yang dipimpin seorang panglima yang sangat ditakuti yang bernama Jaluth, dan Nabi saat itu tidak ditugaskan oleh Allah SWT untuk menjadi pimpinan perang sebagaimana Rasulullah SAW.
Tuntutan rakyat ternyata segera mendapat jawaban dari Nabi Samuel AS, bahwa Allah SWT telah menunjuk secara aklamasi seorang yang akan menjadi pemimpin, tidak begitu populer di tengah rakyat, kalah secara survey dengan tokoh-tokoh besar saat itu, dialah Thaluth. Namun rakyat yang awalnya menuntut diangkatnya seorang pemimpin justru protes, mempertanyakan fit and proper (kepatutan dan kelayakan) Thalut. Malah mereka merasa yang lebih berhak, dengan mengatakan bahwa harta mereka lebih banyak.
Nabi Samuel AS mengklarifikasi bahwa diangkatnya Thaluth adalah keputusan Allah SWT, bukan masalah harta, dan faktanya Thalut memang pantas menjadi pemimpin karena ia diberikan wawasan dan kekuatan fisik. Artinya, kualitas pemimpin harus sesuai dengan apa yang dipimpinnya. Bukan masalah popularitas atau kekayaan, namun apakah pemimpin itu memiliki klasifikasi kemampuan yang linier dengan problem yang dihadapi rakyat.
Ketika tiba waktu berhadapan dengan pasukan Jaluth, Thaluth berkata pada pasukannya agar tidak meminum air sungai tertentu kecuali hanya sekedarnya saja. Ternyata, mungkin karena sangat haus dan senangnya bertemu sungai, mayoritas pasukan minum sekenyangnya melebihi porsi yang diizinkan Thaluth. Akhirnya, pasukan yang minum banyak itu kehilangan keberanian untuk berperang, dan hanya tersisa sedikit saja dari pasukannya, termasuk Nabi Daud AS yang saat itu masih muda.
Dari kisah ringkas di atas, terkait huru hara politik Indonesia saat ini, kita mengambil hikmah agar siapapun yang memimpin negeri ini kelak harus kita dukung agar tercapai segala program yang beorientasi pada kebaikan bangsa, jangan karena fanatik golongan atau apalagi atas dasar harta menjadi oposisi. Dan siapapun yang menjadi staf (pasukan, kabinet, birokrat, pejabat dsb) tidak mengambil sesuatu yang bukan haknya kecuali sebatas jatahnya saja. Karena siapapun yang mengambil melebihi haknya akan menjadi pasukan yang lemah, lemah prestasi, lemah pengabdian, lemah pencapaian target program dsb. Tentu kisah ini tidak utuh, namun paling tidak bisa memberi kita sedikit inspirasi dalam pemilu. (MS/Debar)