SYIAR DEBAR ‘Syiar Islam New Normal’ Oleh: Ustad Dr.Mukhrij Sidqy, MA
DEBAR.COM.-DEPOK- Syiar adalah moto, lambang, tanda, merek, slogan, atau kain wol yang halus dan lembut yang dipakai di bawah selimut. Syiar yang bermakna slogan digunakan oleh bangsa Arab dalam peperangan dan ketika bepergian. Arti slogan ini juga dipergunakan dalam beberapa narasi hadis. Misalnya hadis riwayat Imam at-Tirmizi yang artinya, ”Syiar (slogan) orang mukmin pada Sirathal Mustaqim adalah, ‘Ya Allah, selamatkan, selamatkan.’ Dalam arti tanda pengenal, yaitu hadis yang diriwayatkan Abu Dawud yang artinya: ”Syiar (tanda) kaum Muhajirin adalah Abdullah dan syiar kaum Anshar adalah Abdurrahman.”
Dalam arti pakaian yang langsung mengenai kulit badan di bawah selimut, yaitu hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari yang artinya: ”Orang-orang Anshar adalah syiar (kain halus penutup badan), sedangkan orang-orang lain adalah disar (selimut).” Syiar dalam ibadah biasanya berhubungan dengan manasik haji, yang berarti tanda-tanda atau tempat melakukan ketaatan kepada Allah SWT.
Dalam Al-Quran, kata syiar tidak disebutkan. Yang disebutkan adalah padanannya yaitu sya’irah dan jamaknya sya’a-ir. Kata sya’a-ir Allah dalam Al-Quran pada umumnya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan syiar-syiar Allah. Misalnya surat Al-Baqarah ayat 158, surat Al-Hajj ayat 32 dan 36 serta surat Al-Maidah ayat 2. Secara umum, syiar Islam merupakan tanda, simbol atau slogan Islam yang nampak dari ibadah yang dirayakan secara besar-besaran seperti Salat Idul Adha dan Idul Fitri di lapangan terbuka.
Melihat dari makna umumnya dihubungkan dengan situasi Indonesia yang dibatasi oleh physical distancing, perlu diracik konsep dan teknologi syiar yang efektif dan efisien meski dihantam oleh kondisi seperti pendemi covid-19 saat ini, inilah sikap progressif yang berkesan dari Al-Quran
“Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki….” QS. Al-Anfal : 60. Dua bulan dengan kondisi syiar yang stagnan dan matinya rumah ibadah mungkin menjadi tanda kurangnya progressifitas kita dalam syiar.
Saat ini masjid perlahan kembali dibuka dengan teknis pelaksanaan yang menyesuaikan dengan protap New Normal, meski terlambat dan seharusnya sudah dilaksanakan sebelum-sebelumnya, namun kita tetap harus mendukung usaha pemerintah agar menghadirkan kebijakan setepat mungkin. Kedepannya, mudah-mudahan umat (khususnya masjid yang pusat syiar) lebih mampu untuk menghadirkan syiar fleksibel dan efisien dalam segala situasi. (MUKHRIJ/Debar)