SYIAR DEBAR ‘Merajut Ukhuwah Nusantara’
DEBAR.COM.-DEPOK- Dahulu ada seorang wanita tua yang tekun memintal benang. Meski lunglai tubuhnya, lemah tangannya, dan sayu matanya ia tetap tekun merajut hingga menghasilkan kain indah yang membuat takjub banyak orang. Anehnya, setelah pekerjaan yang dengan susah payah itu diselesaikan, ia malah mengurai kembali benangnya, merobek kainnya. Hingga orang-orang yang tadinya takjub justru mengatakan, “Ada yang salah dipikirannya, mungkin ia tidak waras”. Betapa tidak, sudah susah payah merajut malah diurai kembali.
Cerita di atas mengingatkan kita akan sebuah ayat “Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali…” (An-Nahl : 92). Ternyata hal ini memang pernah terjadi di Mekah, tak penting siapa yang melakukannya, yang jelas perbuatan ini digambarkan oleh Al-Quran sebagai perbuatan yang sangat bodoh yang hendaknya tidak ditiru oleh siapapun. Jikapun yang melakukannya maka sifat bodoh itu pantas disematkan pada dirinya.
Para pahlawan kita telah berjuang susah payah, dengan keringat, darah dan nyawa. Mereka memintal benang-benang suku, budaya, bahasa dan agama dari Sabang sampai Merauke hingga membentuk kain yang begitu indah, itulah kain Nusantara, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Masyarakat dunia pun dibuat takjub, bagaimana tidak? Dengan modal bambu runcing dan ketapel tak gentar melawan senapan dan tank.
Sayangnya, Kain Nusantara yang susah payah dirangkai oleh para pahlawan tersebut ingin kembali diurai dan dirobek-robek dengan fanatisme suku, klan, marga, dan partai. fanatisme yang berlebihan hingga saling menistakan antara satu dan lainnya. Bahkan, agama yang tujuan kehadirannya adalah sa’adah (kebahagiaan) di dunia dan akhiratpun belakangan menjadi alat kelompok tertentu untuk menciptakan kasta dengan selain ketaqwaan, itulah kasta keturunan. Inilah kebodohan yang berpotensi mengurai kembali kain Nusantara.
Kita adalah generasi yang tak punya jasa bagi bangsa ini, kita adalah pemakan jasa, karena kita tidak pernah berjuang angkat senjata untuk mempertahakan dan membela bangsa. Siapapun kita dengan segala statusnya, rakyatkah atau pejabat, awam atau akademisi, umat ataupun ulama, kyai, habib, atau siapapun yang lahir setelah tahun 45 adalah para pemakan jasa. Tugas kita hanya menjaga kain rajutan Nusantara ini, agar tidak tercerai berai, karena sekali tercerai berai tak mungkin lagi bisa dirajut. (MUKHRIJ/Debar)