Refleksi Catatan Hukum Akhir Tahun 2022
Oleh : Muhamad Zarkasih, SH, MH, Msi
Ketua BPW Peradin DKI Jakarta
DEBAR.COM.-JAKARTA- Hanya tinggal hitungan jari, tahun 2022 akan berlalu meninggalkan kita dan berganti tahun baru 2023. Ditahun 2022 tentunya banyak kesan dan kenangan yang terjadi, baik secara personal maupun massal. Ada soal-soal politik, sosial, hukum, ekonomi, bahkan masalah wabah Covid-19 pun masih terus on, padahal sudah dimulai sejak awal tahun 2020. Masih ada masalah-masalah atau kasus yang tersisa, ada yang tertinggal, bagaikan hutang yang belum terbayarkan.
Selain masalah Covid-19 yang belum juga kunjung usai, ada masalah-masalah lain yang terasa masih mengganjal, terutama soal politik dan hukum. Persoalan tersebut terasa bagaikan beban yang membebani kaki negara dalam melangkah memasuki tahun 2023. Tentu saja tidak semua masalah bisa diselesaikan di tahun berjalan, karena juga ada persoalan-persoalan di tahun 2022 yang justru merupakan bawaan dari tahun-tahun sebelumnya. Tetapi penyelesaian sebuah masalah yang tertunda pada akhirnya bermuara pada kemampuan dan kemauan para stakeholder yang berkepentingan dengan masalah tersebut untuk menyelesaikannya. Bahwa ada kendala menyangkut kemampuan, bisalah diterima. Tetapi kalau masalahnya menyangkut soal kemauan, maka inilah yang disebut sebagai ‘Meninggalkan Piring Kotor’.
Kita tidak akan masuk ke wilayah pembicaraan politik, meskipun itu lebih sexy dan memenuhi minat banyak orang, terlebih tahun 2023 itu mulai memasuki tahun politik karena tahun 2024 akan ada Pesta Demokrasi. Tulisan ini akan lebih menyoroti masalah atau kasus hukum yang dinilai besar dan memiliki implikasi luas terhadap bidang-bidang lain, terutama politik.
Salah satu kasus hukum besar di tahun 2022 adalah soal tanah di Desa Wadasari, Jawa Tengah yang terkenal sebagai kasus Wadas. Kasus itu sebenarnya kasus biasa, dimana ada sengketa kepemilikan atau penggunaan lahan antara penduduk setempat dengan sebuah perusahaan, yang sebenarnya bisa diselesaikan secara smooth, secara damai, namun ketika masalahnya di blow up sedemikian rupa (terutama di media sosial) maka seolah kasus itu menjadi sangat luar biasa, bahkan menyentuh atau sengaja ditabrakkan dengan soal HAM dan politik. Maka jadi melebarlah kasus Wadas tadi.
Semua orang bicara, semua orang mencari panggung. Warga Desa Wadas yang awalnya tenang-tenang saja, jadi terprovokasi lantaran itu. Persoalan makin meruncing manakala kasus Wadas dikaitkan dengan kiprah Ganjar Pranowo yang terlihat akan maju di pemilihan presiden tahun 2024. Memang ada konteksnya, yaitu bahwa Ganjar adalah Gubernur Jawa Tengah, Provinsi dimana Desa Wadas berada. Sampai saat ini kasus Wadas belum menemui titik terang penyelesaian.
Kasus lain yang juga bisa dianggap besar adalah Korupsi Dana Bansos, yang bahkan melibatkan Menteri Sosial Republik Indonesia, menteri yang justru memegang kendali utama pemberian bansos. Secara kasuistik, kasus korupsi dana bansos mungkin memang besar, namun ada hal yang lebih besar lagi, yaitu menguapnya komitmen KPK dalam menerapkan kebijakan soal penanganan kasus korupsi dana bantuan sosial.
Awalnya, Ketua KPK secara tegas mengatakan akan mengganjar tuntutan hukuman mati bagi semua pelaku korupsi dana bansos, karena dana bansos adalah milik rakyat, maka korupsi atasnya adalah sejalan dengan merugikan jutaan rakyat Indonesia. Maka orang pun bertepuk tangan atas statement Ketua KPK itu. Namun, tepuk tangan itu berganti menjadi gumaman kekecewaan ketika pada kenyataannya ada tersangka yang hanya dihukum 4 tahun penjara. Masyarakat ngomel, Ketua KPK diam.
Salah satu kasus hukum terbesar adalah menyangkut dunia olahraga, yaitu seputar meninggalnya 135 orang penonton sepakbola di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur. Saat itu terjadi situasi chaos ketika kesebelasan tuan rumah Arema Malang kalah oleh Persebaya Surabaya. Ada tembakan gas airmata oleh polisi dan itu diduga menyebabkan kematian para penonton. Hasil penyelidikan kemudian menyatakan bahwa para korban meninggal bukan karena gas air mata, namun ada beberapa penyebab lain. Tetapi tak urung, Kapolresta Malang dan bahkan Kapolda Jawa Timur harus tergeser pasca tragedi Kanjuruhan tersebut. Paling akhir, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, berdasar rekomendasi Komnas HAM menyatakan, bahwa Tragedi Kanjuruhan bukanlah kasus HAM berat. Masuk kasus HAM berat itu kalau pelakunya adalah negara.
Pencopotan Kapolda Jatim kemudian disusul oleh kasus baru, yaitu ditangkapnya Irjen Pol Teddy Minahasa (Kapolda Jatim baru) karena dugaan kasus penyalah-gunaan barang bukti narkoba. Kasus ini kemudian berkembang, lebih tepatnya dikaitkan ke arah kasus penembakan Brigadir Joshua di rumah FS, (saat itu) Kadiv Propam Polri. Kasus yang menyeret FS diduga menimbulkan apa yang dipersepsikan sebagai ‘Perang bintang’, pertarungan diantara para jenderal di kepolisian. TM diduga adalah ‘seteru’ kelompok FS. Tentu saja hal sangat sulit untuk dicari bukti kebenarannya.
Kalau bicara soal FS dalam kasus Duren 3, maka haruslah diakui sebagai sebuah kasus terbesar di dunia kepolisian. Bukan saja menggegerkan masyarakat Indonesia, bahkan banyak media internasional ikut pula memberitakan. Kasus Duren 3 masih terus berjalan di Pengadilan (Pidana dan Etik) dengan menyeret banyak anggota kepolisian. Di luar penyelesaian di pengadilan, muncul pula keriuhan yang luar biasa, dari mulai tuduhan adanya mafia di kepolisian, sampai kepada drama-drama yang berdasar pada asumsi-asumsi yang melahirkan narasi-narasi yang kadang menyesatkan. Seperti biasa berdatanganlah orang-orang dari latar belakang disiplin ilmu dan profesi beragam berebut mencari panggung dengan segala jenis asumsinya. Padahal sejatinya penyelesaian kasus hukum bukanlah berdasarkan pada asumsi.
Maka demikianlah beberapa kasus hukum besar yang terjadi di negeri ini di tahun 2022. Kasus-kasus itu akan terseret ke tahun 2023, sebab tidak selesai di tahun ini. Semoga saja di tahun depan semua kasus bawaan dari tahun 2022 bisa segera diselesaikan, di samping tentu saja sangat diharapkan tidak muncul kasus-kasus baru yang harus mengorbankan kredibilitas institusi tertentu. (MZ/Debar)