OPINI: Adakah Kemungkinan Polisi Melakukan Upaya Obstruction Of Justice Dalam Kasua Brigadir J Oleh: S Stanley Sumampouw

DEBAR.COM.-CINERE, DEPOK- Obstruction Of Justice dapat diterjemahkan sebagai tindak pidana menghalangi proses hukum. Ketentuan mengenai Obstruction Of Justice ini dapat ditemukan diantaranya dalam ketentuan Pasal 221 KUHP dan Pasal 21 UUD Tipikor.

Kita sudah tahu bagaimana kasus ini bergulir. Semua pihak sudah bicara dan menganalisa. Dari yang ahlinya ahli, ahli, setengah ahli, kurang ahli dan bahkan masyarakat umum biasa. Tidak kurang Presiden Jokowi dan Menko Polhukam sudah berbicara dan mengungkapkan pikirannya.

Yang menarik kali ini saya melihat para Purnawirawan Polri yang hampir satu suara kalau tidak mau dikatakan hampir seluruhnya, mayoritas, mempunyai pendapat yang sama. Apa pendapat yang sama itu? Mereka, para purnawirawan itu meragukan kasus ini seperti apa yang dikatakan oleh polisi pada awalnya.

Banyak yang menyoroti kasus ini dari berbagai aspek, tetapi jarang atau tidak ada yang berpikir bahwa adakah kemungkinan pihak polisi sendiri melakukan penghalangan terhadap proses hukum yang terjadi? Apa buktinya bahwa polisi menghalang-halangi proses hukum yang sedang berjalan?

Pasal 221 KUHP melarang setiap orang yang dengan sengaja menyembunyikan atau menolong orang yang dituntut melakukan kejahatan agar orang yang disembunyikan atau ditolong tersebut terhindar dari proses hukum. Tindakan menyembunyikan atau menolong orang yang terjerat kasus hukum ini dilakukan dengan maksud untuk menutupi, menghalang-halangi atau mempersukar penyidikan atau penuntutan.

KUHP juga mengancam pidana setiap orang yang berupaya menghilangkan atau menyembunyikan alat bukti dengan ancaman maksimal 9 bulan penjara atau denda Rp4.500.000. Sementara itu, Pasal 21 UU Tipikor mengancam pidana setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan baik secara langsung maupun tidak langsung upaya penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan baik yang dilakukan terhadap tersangka, terdakwa maupun saksi dalam perkara korupsi dengan ancaman pidana penjara, paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp150.000.000 dan paling banyak Rp600.000.000. Demikian bunyi kedua pasal tersebut diatas tentang Obstruction of Justice.

Saya ingin merangkum dalam tulisan ini kira-kira apa saja kejadian yang sudah diketahui secara luas di masyarakat, yang dapat dijadikan petunjuk bahwa polisi berpotensi melakukan Obstruction Of Justice.

1. Rilis Peristiwa
Kejadian tanggal, 8 Juli 2022, sekitar pukul 17.00 Wib dikediaman resmi Kadiv Propam Polri di Kompleks Polri Duren Tiga Jakarta Selatan, tetapi baru diumumkan hari Senin tanggal, 11 Juli 2022.

2. Jenasah.
Banyak pertanyaan yang terjadi disini. Kenapa TKP tidak di police line. Bagaimana mayat dipindahkan? Siapa yang melakukan olah TKP? Jika jenasah sabtu sudah dikirimkan ke Jambi sehari setelah kejadian, apakah sudah dilakukan otopsi? Siapa yang melakukan otopsi dan mana laporan resmi otopsi jenasah?

3. Olah TKP.
Setelah 4 hari, yaitu hari Selasa malam tanggal 12 Juli 2022, Bareskrim baru turun olah TKP komplit dipimpin langsung oleh Kabareskim, Komjen. Pol. Agus Adriyanto, dengan tim SCI (Puslabfor & Pusinafis) tetapi ada kemungkinan kondisi TKP sudah berubah (tidak status quo plus kemungkinan telah terjadinya rekayasa sikon TKP). Hal ini karena secara “Tempus delicti” umur TKP sudah lewat 4 hari setelah kejadian.

Pertanyaannya, apakah dari Jumat hingga Selasa Bareskrim Polri tidak mengetahui adanya kejadian ini?

Rilis Polres Jaksel.
4. Diluar kelaziman, biasanya polisi pada saat melakukan rilis, didepannya ada meja tempat meletakkan barang bukti. Kapolres Jakarta Selatan tidak menunjukkan satupun barang bukti. Baik itu pistol Barada E maupun pistol Brigadir J atau barang bukti lainnya.

Tiadanya Tersangka.
5. Hingga saat ini tidak ada yang penetapan tersangka. Padahal dengan jelas ada yang mengaku melakukan penembakan dan ada jenazah yang menjadi korban penembakkan. Apakah perbuatan “membela diri” yang mengakibatkan matinya orang lain dibenarkan secara hukum tanpa proses penyidikan dan keputusan pengadilan?

Barang Bukti.
6. Hilangnya benda-benda yang seharusnya bisa menjadi barang bukti, misalnya; 3 unit hp brigadir J, dan CCTV dirumah yang menjadi TKP juga Decoder CCTV di Pos Satpam komplek yang diambil oleh orang tidak dikenal.

7. Barang-barang yang bisa dijadikan BB dari semua yang ada dan terlibat di TKP; Hp FS, Hp Barada  E dan Hp ibu Putri.

Tuduhan atau Framing?
8. Polisi sejak awal sudah memframing kasus ini dengan istilah “Tembak menembak”, “bela diri” dan “percobaan perundungan/pelecehan seks” tanpa dikuatkan dengan bukti-bukti penyertanya.

Ancaman.
9. Adanya pengancaman dan tekanan pada keluarga Brigadir J, agar tidak membuka peti jenazah.

10. Pengambilan Camera dan Hp Wartawan dan menghapus hasil peliputan didalam Hp tersebut oleh oknum polisi yang berjaga di lokasi rumah TKP.

11. Dan lain-lain dan sebagainya seperti yang sudah diketahui oleh masyarakat secara luas.

Mampukah Polri melakukan Obstraction of Justice? Jawabannya sangat mampu. Tetapi maukah Polri melakukan Obstruction Of Justice? Nah, ini yang sedang ditunggu-tunggu oleh masyarakat.

Ditengah upaya Kapolri membenahi institusi Polri menjadi lebih baik dengan semboyan Presisi (Prediktif, Responsibilitas dan Transparansi berkeadilan), kasus ini menjadi ujian sekaligus juga “batu sandungan” bagi Presisi Polri jika salah penanganannya dan berlawanan dengan rasa keadilan masyarakat.

Kita menghargai upaya Polri menghilangkan berbagai kecurigaan dan juga kemungkinan upaya Obstruction Of Justice dengan melakukan penonaktif-an beberapa pejabat Polri yang terlibat langsung dalam penanganan kasus ini.

Tetapi yang menjadi tanda tanya publik kenapa kasus di Polres Jakarta Selatan diambil alih oleh Polda Metro Jaya? Kenapa bukan ke Mabes Polri atau Bareskrim Polri? Dan apa yang dilakukan oleh Timsus yang diketuai oleh Wakapolri Komjen. Pol. Gatot Edi Pramono?

Saya menghargai tekad Kapolri agar benar-benar kasus ini dibuka secara transparan. Tetapi kurangilah berbagai keanehan dalam pelaksanaan prosesnya.

Apakah sudah benar-benar polisi menerapkan Transparansi berkeadilan, masyarakatlah yang menilai bukan polisi.

Jangan lupa ucapan Presiden Joko Widodo: “Saya kan sudah sampaikan, usut tuntas, buka apa adanya, jangan ada yang ditutup-tutupi, transparan”. (SSS/Debar)

Cinere Depok, Minggu 24 Juli 2022, pukul 13.04.

Penulis adalah Pemerhati Kepolisian, Pengusaha, Pemred Maspolin.id dan Ketua Umum Kumpulan Maspolin.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button