Kamaruddin: Bola Liar Yang Harus Dihentikan

Oleh : Muhamad Zarkasih              Advokat/Pemerhati Hukum dan Sosial

DEBAR.COM.-JAKARTA- Dalam beberapa bulan terakhir, setelah mencuatnya kasus FS, muncullah nama seorang pengacara bernama Kamaruddin Simanjuntak (KS). Ia bisa dianggap sebagai salah satu pengacara yang ‘memulai’ membuka kasus FS secara terang benderang, setelah sebelumnya bermain pada wilayah skenario palsu. Nama KS memang langsung saja mencuat, membuatnya jadi terkenal dan dipuji banyak orang. Namun, sebagaimana adagium lama bahwa ‘pujian cenderung menjadi pisau yang membunuh diri sendiri’, maka itu pula rasanya yang terjadi pada KS.

Setelah kasus FS, langkah KS terlihat makin ‘membabi-buta’. Pengalamannya menganalisa kejahatan yang dilakukan oleh FS tiba-tiba saja melahirkan sebuah kesimpulan yang sungguh tak berdasar, yaitu bahwa seluruh insan yang ada di institusi Polri adalah ‘jahat’. Ia bagaikan memegang sebuah pistol berpeluru hampa, menembak liar tanpa arah. Menimbulkan kebisingan meski tak mematikan. Bagaimana pun kebisingan itu telah mengganggu banyak kalangan, khususnya para anggota Polri.

Paling akhir, KS dalam sebuah konten YouTube milik Surya Utama atau Uya Kuya, melemparkan lagi sebuah komentar, yang bukan saja ngawur, namun juga menyakitkan kalangan kepolisian. KS mengatakan ‘Polisi pengabdi mafia’, berdasarkan pada keyakinannya bahwa “Polisi rata-rata mengabdi kepada negara selama seminggu, 3 minggu lagi mengabdi pada mafia’. Tuduhan ini tentu saja tidak main-main dan tak boleh dianggap sebagai kritik, sebagaimana KS ingin dianggap pendapatnya sebagai sebuah kritik. Ada garis permainan di dalam sebuah kritik dan KS sudah menabrak garis itu. Maka tak heran jika sebuah organisasi bernama Gerakan Rakyat Anti Hoaks (GERAH) yang diketuai oleh Ustad Juliana dan beberapa  Purnawirawan Polri Jakarta melalui kantor Pengacara ‘ALIDO’, melaporkan KS dan Uya Kuya ke Polres Metro Jakarta Selatan, dalam konteks pasal 28 (2) jo pasal 45 (2) UU ITE, PAsal 14, 15 UU No 1 Tahun 1946 jo 207 KUHP.

Jumlah anggota polisi di Indonesia, dalam data tahun 2022, adalah sebanyak 434.135 orang. Jumlah ini adalah yang terbesar kelima di dunia. Terbayangkankah jika hampir 500 ribu orang itu adalah mafia? Akan serusak apa negara ini jika setengah juta orang berseragam dan bersenjata menjadi mafia di dalam negara hukum seperti di Indonesia? Apakah akan ada polisi yang menangkap para penjahat, apakah ada polisi yang mengurai kemacetan di jalanan, apakah ada polisi yang menjaga keamanan dan kenyamanan masyarakat? Bagaimana bisa mafia mampu membuat masyarakat aman dan nyaman? Sebagian pertanyaan ini selayaknya dilemparkan ke hadapan KS dan biarkan ia berpikir dengan hati nurani yang paling jujur.

Men-generalisir sebuah pendapat buruk ke dalam sebuah kelompok tentu saja adalah sebuah tindakan yang amat sangat kurang bijak, malah cenderung tak cerdas. Rumah sakit tak berarti adalah tempat para dokter dan perawat yang gagal, hanya karena ada satu dua pasien yang tak bisa diselamatkan. Sebuah kampung tentu tak bisa dianggap sebagai kampung penjahat, hanya karena ada warganya yang berbuat kriminal. Adalah sebuah kesemberonoan yang luar biasa manakala membuat sebuah kesimpulan yang bersifat publik berdasarkan pada fakta yang nilainya subyektif.

Secara logika dan realita, selalu ada nilai kebenaran di balik sebuah kesalahan, demikian pula sebaliknya. Jika KS tak mampu memegang prinsip itu, maka agak aneh juga ketika ia memilih profesi sebagai seorang pengacara. Secara awam, tugas pengacara adalah membela kepentingan kliennya, membuat seorang yang disangka atau dituduh menjadi lolos dari jerat hukum, berdasarkan fakta-fakta hukum yang melunturkan tuduhan kesalahan yang ditimpakan kepadanya. Artinya, seorang pengacara harus menggali secara dalam nilai-nilai kebenaran yang yang dimiliki oleh kliennya, yang tertutupi oleh tuduhan atau sangkaan. Jadi, jika KS berpegang pada pendapat bahwa ‘Polisi pengabdi mafia’ karena ada satu-dua oknum polisi yang berbuat salah, maka seharusnya KS berhenti menjadi pengacara, sebab apa pun kebenaran yang dimiliki oleh kliennya adalah akan tetap dianggap bersalah dan harus dihukum. Apakah KS bisa secara konsekwen menerapkan hal ini kepada dirinya sendiri, seperti ia menuduh institusi Polri?

Yang dilakukan oleh KS memang menyakitkan. Bukan saja menyakitkan ratusan ribu anggota Polri yang harus bekerja sangat keras dan terkadang ber-darah-darah, bahkan di daerah terpencil, tetapi juga seluruh masyarakat Indonesia. Sebesar atau sedahsyat apa pun gejolak yang terjadi di tubuh Polri tidak akan mampu menghapus rasa cinta dan sayang masyarakat terhadap kepolisian. Tetap ada optimisme, tetap mengalir harapan-harapan baik. Pijakan KS bahwa pernyataan ‘Polisi pengabdi mafia’ adalah bagian dari kebebasan berpendapat yang dilindungi oleh UU adalah sebuah kekonyolan. Kebebasan berpendapat tetap memiliki garis tegas, dimana ada rambu-rambu yang tak bisa dilanggar. Hanya orang yang bijak dan cerdas yang mampu melemparkan pendapat tanpa menyakiti atau memfitnah.

Maka atas nama kebebasan berpendapat pula seharusnya KS mempertanggung-jawabkan fitnah yang telah dilemparkannya. Tantangan KS menanggapi laporan Gerakan Rakyat Anti Hoaks (GERAH) yang diketuai oleh Ustad Juliana, dengan mengatakan legal standing organisasi tersebut, selayaknya segera dijawab dengan laporan lain oleh kalangan yang kuat legal standingnya, ini sudah dilakukan oleh beberapa Purnawirawan Polri melalui pengacara ALIDO yang ditunjuknya. Kali ini KS harus direspons, tidak lagi dibiarkan ia menggocek bola secara liar kesana kemari, melewati garis lapangan permainan. (MZ/Debar)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button