SYIAR DEBAR: Hikmah Politik Dalam Isra Mi’raj Oleh: Ustad Dr.Mukhrij Sidqy, MA

DEBAR.COM.-DEPOK- Meski disebutkan secara terpisah di dalam Al-Qur’an, namun sudah populer bahwa Isra dan Mi’raj terjadi secara berurutan, dimulai dengan perjalanan Horisontal (Haram ke Aqsha) kemudian Vertikal (Sidratil muntaha). Perjalanan mukjizat sepanjang umur dunia ini tentu memiliki hikmah luas dan mendalam lebih dari ceramah peringatan Isra Mi’raj yang terkesan itu-itu saja. Maka, kita akan mencoba menggali hikmahnya dalam konteks politik.

Rasulullah SAW menjalankan (diperjalankan) Isra dan Mi’rajnya ditengah tugasnya dalam membimbing, mengayomi dan memimpin umat pada periode Mekkah yang saat itu mengalami banyak sekali ujian yang sangat berat, diantaranya adalah penolakan kaum Thaif karena provokasi manusia dan Jin kafir. Dalam usaha men-sosialisasi-kan program yang tujuannya untuk kebaikan dan keselamatan kaum Thaif sendiri yaitu agar mereka beriman, justru dengan berita hoax dari manusia dan jin kafir, program itu pun ditolak mentah-mentah, bahkan dengan cara yang sangat tidak beradab.

Kalau kita perhatikan, bukankah persaingan perebutan kekuasaan yang terjadi saat ini di Indonesia memiliki sisi yang sama dengan kisah di atas. Atas dasar oposisi dan dalam rangka merebut simpati rakyat, program sebaik apapun yang disosialisasikan oleh pemimpin harus ditolak mentah-mentah dengan memanfaatkan sentimen kerakyatan. Menggiring opini tanpa membiarkan apalagi mengarahkan masyarakat untuk terlebih dahulu mendengar program-program dari pemimpinnya. Maka, yang terjadi selanjutnya adalah distrust antara rakyat dan pemimpin yang tak berdasar, yang ujungnya adalah kerusuhan, inilah permainan kaum kafirin dari jin manusia, menyebar permusuhan dan kebencian (‘adawah dan baghda).

Dalam keadaan tidak kondusif tersebut, Baginda Rasul SAW hanya mengadu pada Allah SWT, karena nasehat manusia boleh jadi semakin memperkeruh suasana, terlebih lagi setelah wafatnya kedua orang terpercayanya, yakni Khadijah ra dan pamannya Abu Thalib. Ini memberi hikmah kepada kita, bahwa dalam menghadapi problematika kepemimpinan, hendaknya berpegang teguh pada Allah SWT, bukan bersandar pada partai, yang pada ujungnya hanya berpikir untuk kebaikan golongannya saja. Bukankah Rasul SAW justru mendoakan kaum Thaif agar memiliki keturunan yang beriman, dan sebagai pemimpin tetap membela umatnya walaupun mereka masih tersesat, itulah sifat pemimpin.

Akhir tulisan ini, kita mendapati bahwa seorang pemimpin harus pandai men-charging energi spiritualnya. Dengan cara bangun di malam hari sebagaimana makna ‘Isra’ itu sendiri, berkomunikasi dengan Allah untuk kebaikan umat (Mi’raj) dengan melaksanakan sholat. Jangan manfaatkan masjid hanya untuk kampanye saja, tapi jadikan ia tempat yang familiar bagi seorang pemimpin, kemudian ajak rakyat untuk turut serta mengadu kepada Allah atas segala problematika, itulah oleh-oleh besar Rasul SAW dalam Mi’rajnya, membawa hadiah cara rakyat berkomunkasi dengan Allah SWT, Sholat Lima Waktu. (MS/Debar)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button