SYIAR DEBAR ‘Hari Santri: Antara Seremoni dan Substansi’ Oleh: Ustad Dr.Mukhrij Sidqy, MA
DEBAR.COM.-DEPOK- Hari Santri Nasional yang ditetapkan pada tanggal 22 Oktober merujuk pada satu peristiwa bersejarah yakni seruan yang dibacakan oleh pahlawan nasional KH. Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945. Seruan ini berisikan perintah kepada umat Islam untuk berperang (jihad) melawan tentara sekutu (Inggris) yang ingin menjajah kembali wilayah Republik Indonesia pasca Proklamasi kemerdekaan 22 Oktober 1945 dianggap sebagai resolusi jihad di mana santri dan ulama bersatu serta berkorban untuk mempertahankan Indonesia.
Sejak berlalunya “Sabab An-Nuzûl” Hari Santri Nasional delapan dasawarsa yang lampau, semangat itu kini coba dibangkitkan kembali, semangat anti imperialisme, semangat kebangsaan, kemanusiaan, semangat membela kaum tertindas. Masalahnya, jika dulu jelas tujuannya dan siapa lawannya, karena beda warna kulit dan bahasanya, kini siapa atau apa yang menjadi objeknya? Tanpa objek, semangat dan romantisisme Hari Santri tak akan lebih dari sekedar seremoni, upacara pagi, dan ucapan “Selamat Hari Santri”.
Imperialisme adalah sunnatullah yang boleh jadi abadi, ia musuh manusia meski dilakukan oleh manusia itu sendiri. Jika dulu imperialisme berbaju militer, bertopi baja, dan menggenggam senjata, kini ia sudah bermetamorfosa, menjadi imperialisme budaya, ekonomi dan pemikiran. Betapa tidak? Budaya saling menghormati dihantam oleh saling mencela di media sosial, ekonomi dikuasai oligarki, kekayaan terpusat, dan pemikiran untuk merdeka dan memerdekakan berubah menjadi mental “yang penting gua aman”, egois dan individualistis.
Santri adalah simbol intelektual yang merakyat. Ia bukanlah intelektual yang sombong apalagi rakus, ia bukan juga kaum pinggiran yang lemah apalagi bodoh. Maka aneh jika cita-cita besar seorang santri adalah selain mengabdi untuk umat dan Rabbnya, apalagi jika ia hidup hanya untuk dirinya, makan enak, tidur nyenyak, kawin, punya anak, maka sungguh ia telah khianat dan khianat, begitulah ungkap para guru yang mulia kepada santrinya.
Mengingat hari santri sangat baik, untuk menyadarkan santri dan para pengayomnya itu sendiri, bahwa santri bukan sekedar nilai-nilai ijazah dan kelulusan, bukan sekedar peci dan sarung. Tapi santri adalah jiwa, kepribadian yang berwawasan, terbuka, merdeka, dan berjalan di atas jalan pengabdian (khidmah). Santri adalah jiwa sederhana yang tidak sederhana kontribusinya di masyarakat, yang memberi manfaat bukan hanya diberi manfaat. Maka siapapun pejabat dan tokoh hingga santri yang mengikuti hari santri, tanyalah pada diri masing-masing, apakah saya orang yang biasa memanfaatkan banyak orang, atau bermanfaat untuk orang banyak, santri pasti yang kedua, bukan yang pertama, walau peci, sorban dan sarung yang menjadi atributnya. (MUKHRIJ/Debar)