DEBAR.COM.-DEPOK- Dalam literatur sejarah, penentuan Tahun Hijriyah dimotivasi oleh kebutuhan para gubernur diantaranya Abu Musya Al-‘Asyari ra. untuk menginventarisir surat-surat yang masuk pada waktu itu. Ketika itu surat yang ada hanya bertuliskan tanggal dan bulan, tetapi tidak ada tahunnya sehingga membingungkan, kalaupun disebut tahun maka sebutan itu biasanya menggunakan nama peristiwa besar yang terjadi ketika itu. Atas motivasi inilah Amîrul Mukminîn Umar Ibn Al-Khattab menentukan awal tahun hijriyah.
Namun, jika dilihat dari sisi lain, penentuan tahun hijriyah bukan hanya motivasi administratif, tetapi juga bermuatan politik. Hal ini menjadi pasti dalam konteks penetapannya oleh kebijakan penguasa (Amirul Mukminin dan para sahabat senior). Paling tidak, implikasi politik dengan penentuan tahun hijriyah sangat jelas, yaitu menghadirkan alternatif ukuran waktu yang selama ini di dominasi oleh kalender Masehi (Anno Domini).
Penentuan awal tahun Hijriyah yang ditentukan berdasarkan peristiwa besar yaitu tahun hijrahnya Rasulullah SAW tentu menjadi refleksi besar bagi umat Islam. Dengannya, tahun baru dimaknai sebagai momentum hijrah dari kekufuran menuju Islam. Berbeda dengan Masehi yang didasarkan dengan kelahiran ‘Isa Al-Masih as yang dianggap sudah banyak terjadi tahrîf (penyelewengan) dalam sejarahnya dalam konteks aqîdah.
Energi besar hijrahnya Rasulullah SAW dan para sahabat ra yang menjadi kandungan tahun baru Islam serta motivasi politik penentuannya kiranya bisa memberikan energi bagi Indonesia yang dihuni oleh muslim sebagai populasi terbesarnya (87 %). Indonesia sebagai muslim nations mestinya memiliki 87% semangat hijrah yang terus melangkah menuju negeri keselamatan, yang bersih, aman dan jujur. Bukan negeri yang kotor, tidak tertata, kurang rasa aman dan penuh ketidak jujuran.
Khususnya bagi pejabat (pemangku kekuasaan) yang kebetulan juga didominasi oleh muslim hendaknya mewujudkan nilai tahun baru Islam dalam lingkungan kepemerintahannya. Sehingga mewujudlah birokrasi yang profesional, jujur, adil dan jauh dari korupsi. Pejabat yang berpikir tentang kepentingan rakyatnya, sebagaimana Rasulullah SAW mendahulukan sahabatnya dalam berhijrah demi keamanan mereka. Bukan justru pejabat yang kaya dan makmur lebih dahulu, sementara rakyat yang memilihnya ditinggal dibelakang dalam keadaan susah dan sedih.(MUKHRIJ/Debar)