Opini: Peran Penting Sekolah Politik Perempuan ICMI Oleh: Dr. Rida Hesti Ratnasari, M.Si, CRGP (Pengurus DPP Perempuan ICMI)

DEBAR.COM.-JAKARTA- Pelantikan Pengurus DPP Perempuan ICMI pada Kamis (06/07/2023) berlangsung di Gedung Nusantara IV DPR RI, Jakarta bersamaan dengan Peluncuran Sekolah Politik Perempuan ICMI. Ketua MPR Bambang Soesatyo menyampaikan, bahwa peluncuran Sekolah Politik Perempuan ICMI merupakan terobosan positif dalam meningkatkan partisipasi perempuan di bidang politik. Sekolah politik ini diharapkan mendidik perempuan kapabel mengisi berbagai posisi strategis di legislatif, eksekutif, hingga BUMN dan berbagai sektor lainnya.

Ikhtiar DPP Perempuan ICMI ini memenuhi amanat Pasal 10 Ayat (7) dan Pasal 92 Ayat (11) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, bahwa dalam menentukan komposisi di panggung politik harus memperhatikan kuota 30 persen keterwakilan perempuan. Pencapaian kuota ini belum terpenuhi, pada periode 2019-2024 per Januari 2021 hanya terdapat 123 jumlah perempuan di DPR RI atau sekitar 21,39 persen. Capaian ini masih lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata persentase perempuan anggota parlemen di tingkat global yang mencapai 26,5 persen sehingga menempatkan Indonesia pada peringkat ke-105 dari 188 negara.

Gagasan strategis Peluncuran Sekolah Politik Perempuan ICMI ini menghadapi tantangan dan peluang besar pendidikan politik yang adaptif terhadap dinamika perkembangan penerapan demokrasi. Kurikulum yang presisi, dengan lesson plan dan session plan dibawakan oleh Narasumber dan Instruktur kompeten merupakan keharusan agar Sekolah Politik ini memberikan manfaat nyata bagi perempuan di seluruh Indonesia.

Penetapan visi, misi, tujuan dan target penyelenggaraan Pendidikan oleh Sekolah Politik Perempuan ICMI ini akan memandu efektifitas pembelajaran dan pencapaiannya sesuai harapan. Mutual understanding penyelenggara dan peserta mengenai target yang hendak dicapai perlu disepakati dalam kontrak belajar sehingga terjadi kesamaan persepsi yang memudahkan ikhtiar bersama menunaikan peran politik perempuan.

Menurut Anne Philips, kesetaraan gender dalam politik, perlu menyepakati bagaimana menghadapi perbedaan ‘Politik Gagasan atau Politik Kehadiran’. Demokrasi memberikan ruang kontestasi publik bagi perempuan secara memadai, tinggal diisi oleh perempuan dengan mendedikasikan kapasitas dan kapabilitasnya, bukan sekedar dengan keperempuanannya (jenis kelamin). Gagasan perempuan dalam peran politiknya, sudah seharusnya tidak mengandalkan aspek kehadiran memenuhi kuota saja.  Demokrasi dalam gerakan sosial (social movement) menghadapi tantangan ketika perempuan mulai kesulitan mencari suara dalam dominasi politik yang di batasi ruang dan geraknya, atau hegemoni budaya.

Sejumlah tantangan dan peluang mendorong perempuan Indonesia memenuhi kuota, perlu mengevaluasi peran politiknya, sebagaimana Anne Philips membuat kategori : deskriptif, substantif, dan transformatif personal. Kehadiran deskriptif mengacu pada kehadiran fisik perempuan di lembaga politik, ekonomi, dan sosial, menjadi simbol keberadaan perempuan sesuai ketentuan kuota. Kehadiran substantif adalah dampak substansial karena kehadiran perempuan terhadap wacana, budaya, atau keputusan politik yang dihasilkan. Kehadiran transformatif personal adalah peran politik perempuan menghasilkan dampak kehadirannya Politik kehadiran (politic of presence), yakni masuknya perempuan di dalam struktur politik diperlukan untuk memberi perempuan kekuatan di masyarakat.

Bukan hanya hadir dalam menyampaikan gagasan tanpa peran politik dalam struktur yang berarti bagi keberhasilan pembangunan Bangsa Indonesia. Inilah relevansi kinerja Sekolah Politik Perempuan ICMI, yang ditunggu, diharapkan dan dinantikan keberhasilannya mengantarkan peningkatan kapabilitas perempuan dalam politik. Kolaborasi multipihak menjadi kunci keberhasilan Sekolah Politik Perempuan ini.(AR/Debar)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button